The (un)Serious First Meeting

asrar 🍂
3 min readJan 18, 2024

--

“Gimana, Jak? Ujian lancar?”

Sebuah pertanyaan muncul tatkala Jaki baru saja mendaratkan bokongnya di sofa ruang tamu rumah Dipta. Ia mengusap kasar wajahnya lalu tersenyum ke arah Arga yang tadi bertanya.

“Gue hampir telat masuk kelas tadi, untungnya yang ngawasin asdos. Uas open book asal kagak nyontek temen sebelah katanya. Yaudah deh lancar jaya.”

Dipta mendecih, “emang lo ada buku? Perasaan tadi berangkat aja cuma bawa hp, mana ngadat lagi.”

“Gue minta potoin jawaban ke orang yang ada di depan gue, dan untungnya hp gue nyala disaat yang tepat. Hoki setaun sekali kepake.” Jaki terkekeh di akhir ujarannya.

“Lah itu lo nyontek, gimana sih?” tanya Gama sambil menatap aneh seorang Jaki dari arah dapur, “Dip, ada air dingin ga? Haus banget gue.”

“Ambil aja di kulkas, kayaknya ada.”

“Gua mau satu dong, Gam.” Pinta Wira yang setia mengotak-atik kameranya.

Gama melanjutkan pencariannya, membuka kulkas lalu mengambil dua botol mineral dingin. Setelahnya, ia kembali kumpul di ruang tamu, memberikan sebotol untuk Wira, dan satu lagi untuk dirinya.

“Kan yang dilarang itu nyontek ke sebelah, lah gue nyontek ke depan. Ngga salah dong.” Jaki membela diri.

“Lo cerdas,” Gama menutup botol mineralnya, “tapi tidak pada tempatnya.”

Jaki tersenyum bangga. Sedangkan teman-temannya yang lain tergelak.

Sedetik kemudian pintu terbuka, menampilkan Zidan dengan kacamata hitamnya dan Bagas yang langsung membuka jaketnya setelah menutup pintu rumah.

“Hari ini dunia panas banget gila!” Bagas menyeka peluh di dahinya.

“Lagian, lo ngapain pake jaket segala dah? Gue yang liatnya aja daritadi ikutan gerah,” ungkap Zidan menaikkan kacamata hitamnya ke kepala.

Bagas acuh, ia mengipas-ngipas wajah dengan tangannya.

“Pfft, gaya bener lu, Dan.” Dipta cekikikan.

Zidan merebahkan dirinya di sebelah Jaki.

“Biar keliatan kalo dia orang kaya itu,” celetuk Jaki asal.

Lagi-lagi semuanya tergelak. Sedangkan sumber komedi tadi hanya terkekeh, tangannya merebut botol mineral milik Gama yang kemudian menimbulkan pertengkaran kecil antara keduanya.

“Udah-udah, kita mulai rapatnya ya. Gam, biarin aja si Jaki, tuh masih ada air dingin di kulkas tinggal ambil. Heh Bagas, jangan duduk di lantai, itu sebelah Zidan masih luas, geseran Dan. Oiya itu Wira jangan asik sendiri sama kamera, kan udah uasnya. Potoin kita aja nih buat dokumentasi rapat bisnis, cepet.” Dipta berdiri dari duduknya.

Semuanya melongo, terkejut dengan keseriusan Dipta yang mereka kira hanya bercanda.

Zidan bertepuk tangan, “gue ngga tau lo seserius ini sama proyek kemarin.”

“Sumpah, gue pikir juga bohongan, kirain ngumpul disini cuma buat kumpul kebo kayak biasanya.” Wira menatap Dipta tak percaya.

“Setelah semua kesepakatan kemarin sampe tadi pagi, kalian masih ngira bercanda?! Gue serius woi!” Seru Dipta sambil menunjuk-nunjuk teman-temannya.

“Demi apa kita bakal berbisnis? Demi apa kita bakal dapet cuan selain dari Zidan?” Tanya Arga bersemangat.

“Gue aja terus,” keluh Zidan diiringi kekehan kecil dari Bagas.

Dipta kembali duduk di sofa. Namun, baru saja hendak membuka suara, pintu rumah yang terbuka mendahuluinya untuk mendapat atensi dari teman-temannya.

“Eh?”

Itu Dirga, yang kini terlonjak kaget melihat ketujuh bujangan menatap datar ke arahnya. Selepas menutup pintu dengan hati-hati, ia kemudian berjalan sopan menyalami teman-teman kakaknya satu-persatu, lalu berjalan tergesa menuju kamarnya.

“Heh, Magadir. Tolong ambilin buku sama pulpen di kamar gue dong!” Teriak Dipta kemudian.

Adiknya yang baru berjalan lima langkah itu menggerutu dalam hati, namun mulutnya malah mengiyakan. Dirga akhirnya menuruti perintah kakaknya itu lalu kembali ke ruang tamu untuk menyerahkannya.

Setelah mendapat ungkapan terima kasih, Dirga langsung berjalan cepat menuju kamarnya. Mengunci rapat-rapat pintu kamar, lalu menyetel playlist favoritnya dari ponsel.

Ya, Dirga tak suka jika Dipta dan teman-temannya berkumpul di rumah, karena mereka akan sangat bising nantinya.

Padahal, dia dan gengnya pun sama saja. Bahkan lebih parah.

Kita kembali ke ruang tamu. Lembar kosong sudah disiapkan, dan Dipta mulai membuka tutup pulpennya.

“Oke, kita mulai dari konsepnya. Jadi, mau kayak gimana?”

--

--

asrar 🍂

kamu menemukanku, dalam setiap kata yang aku sembunyikan maknanya.