How to Get a Star Before You Die

asrar 🍂
6 min readMay 21, 2024

--

Aku selalu betah berlama-lama memandangi langit malam, karena baik bintang maupun engkau, keduanya sama-sama benderang dalam kegelapan.

Aku kembali.

Pada rumah dimana tempat pulangku sudah tak lagi pulang kesana. Dengan sebuah kotak hadiah yang tak sempat diberikan kepada pemilik yang seharusnya memilikinya.

Tiga tahun setelah Lula pergi, aku jadi lebih sering mengunjungi rumahnya. Di ambang pintu, adiknya selalu menyambut kedatanganku ramah. Aku membalasnya juga dengan senyuman lebar, namun tidak dengan kedua mataku yang hingga saat ini mungkin terlihat sendu.

Lula hidup di dalam wajahnya — membuat dadaku sesak tatkala menatapnya terlalu lama.

Ia mempersilakan masuk, mengantarku ke dalam kamar Lula yang sampai detik ini tak ada satupun yang berubah ataupun diubah, seolah tak ingin kehilangan bentuk pemiliknya. Kuamati setiap sudut di dalamnya.

Tempat tidur berukuran sedang dengan rak buku minimalis di sisi kanan, setengah bukunya Lula beli dengan aku yang selalu mengekorinya berkeliling toko buku setiap stok bacaannya habis. Netraku beralih pada langit-langit kamar, tempelan bintang-bintang yang selalu ditunjukkan bahwa mereka menyala disaat Lula meredupkan lampu sebelum tidur. Saat teringat bintang, aku kembali mengalihkan pandangan ke sudut kamar, sebuah meja belajar beserta sebuah kursi dilengkapi mading mini yang diukir berbagai mimpi-mimpi disana.

Kakiku melangkah kesana, sementara seorang yang mengantarku tadi kesini sudah menghilang — membiarkanku tenggelam bersama semua kenangan Lula disini.

Ada satu tulisan di atas notes yang lagi-lagi menghantam keras palung terdalam di benakku.

Let’s have a telescope and then we could get the stars every night.

Lula selalu bilang ingin melihat bintang dari dekat, bahkan mungkin jikalau bisa tergapai, bintang palsu yang ada di langit kamarnya akan segera tergantikan dengan bintang-bintang sungguhan yang ia petik setiap ada kesempatan. Setelah kamarnya penuh, bintang-bintang itu akan dibagikan pada setiap orang yang ia temukan dalam gelap, harap-harap dapat membantu mereka menemukan jalan pulang.

But I think, you already being a star to every human that you meet, Lula.

Dan buatku, Lula bukan hanya sekedar bintang yang lebih terang dari kejora, jiwanya menghimpun seluruh kebaikan semesta dan seisinya. Mungkin itu alasannya semesta punya kasih sayang yang lebih banyak untuknya, dibandingkan aku yang hanya menerima hal-hal baik yang selalu ia sebarkan setiap harinya.

Sejenak, otakku kembali memutar percakapan panjang — sekaligus terakhir, antara aku dan dirinya waktu itu.

“Menurutmu, lagu Ambilkan Bulan Bu itu masuk akal ngga?”

Kami sedang duduk di halte, seperti biasa menunggu kedatangan bus sambil membicarakan segalanya. Ralat, hanya aku yang menunggu, karena Lula biasanya akan menjemput adiknya pulang sekolah terlebih dahulu di seberang halte dan cukup berjalan kaki untuk sampai ke rumahnya.

“Lagu itu sama tidak masuk akalnya dengan lagu favoritmu.”

Ia melirikku sinis, tak terima dengan jawaban yang kulontarkan. “Kenapa begitu?” Tanyanya penasaran.

“Pertama, bulan itu ngga bisa diambil seenaknya kayak kamu ganti bohlam kamar. Kedua, lagunya ngga sopan, emang boleh ya nyuruh-nyuruh orangtua kayak gitu? Ketiga, kayaknya kamu lagi pengen terang bulan deh.”

Ia mendecak sebal. Kedua tangannya dilipat bersamaan dengan wajah yang ditekuk. “Jawaban kamu juga ngga masuk akal, Kak.” Aku tak bisa untuk tidak tersenyum karena tingkahnya.

“Aku cuma bisa ambilkan terang bulan, Lula. Kalau ambilkan bulan kayaknya aku ngga mampu.”

Ucapanku sukses membuatnya menggeser lebih jauh dari posisi duduknya semula. Wajahnya masih ditekuk, sangat berbanding terbalik denganku yang tersenyum lebar setiap melihatnya cemberut.

Aku berdeham pelan. “Kalau gitu, coba kasih alasan kenapa kamu secinta itu sama lagu Bintang Kecil.”

Tekukan di wajahnya perlahan hilang, seulas senyuman terbit dari kedua bibirnya. “Waktu aku kecil, Ibu selalu menyanyikanku lagu Bintang Kecil setiap mau tidur. Saking seringnya, hampir setiap hari aku membayangkan terbang dan menari di tengah bintang-bintang di atas sana, sampai pernah nangis-nangis pengen punya sayap biar bisa terbang ke langit.” Lula menjeda ucapannya, ia menertawakan sebentar kebodohan masa kecilnya.

“Tapi ketika beranjak dewasa, aku jadi sadar kalau kita bisa jadi bintang bersinar dalam hidupnya masing-masing tanpa perlu terbang dulu ke langit, dan bahkan kita juga bisa jadi bintang buat orang lain.” Ia menoleh ke arahku, senyumnya semakin mengembang. “Makanya, aku harap kak Jiwa bisa selalu bersinar, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain.”

Aku mengusap pucuk kepalanya lembut, “terima kasih, ya.”

Waktu menunjukkan pukul dua siang. Lula bangkit dari duduknya, bersiap untuk menjemput sang adik. Aku ikut berdiri, membalas lambaian tangan Lula yang sudah berdiri di sisi bahu jalan menunggu lampu merah menyala.

“Jangan kemana-mana lagi ya, Lula. Udah jemput Lutfi langsung pulang.” Seruku setengah berteriak.

Lula mengangguk.

“Aku pulang duluan ya, kak Jiwa. Hati-hati di jalan.”

And, so do you.

Lampu merah menyala, namun yang padam adalah kesabaran manusia di jalanan yang hari itu lumayan sepi.

Mungkin kita selalunya berdoa untuk keselamatan diri kita sendiri, memastikan segala sesuatunya agar berjalan lancar. Akan tetapi, kita terkadang lupa untuk berdoa agar orang lain juga sama hati-hatinya dengan kita.

Dari arah kiri, sebuah motor melaju dengan kecepatan tinggi dan di detik selanjutnya menghantam kencang satu-satunya orang yang sedang menyebrangi jalan.

Lututku lemas, kedua tanganku mengepal kencang. Amarahku memuncak bukan hanya pada diriku sendiri yang hanya terdiam melihat kejadian pilu di depan sana, tapi juga pada sosok pengendara motor sialan itu yang langsung pergi tatkala melihatku berlari menghampirinya.

Lula yang sebelumnya tersenyum cerah, kini terbaring lemah dalam dekapanku. Kedua matanya tertutup, semakin memperburuk kekalutan dalam kepalaku.

“Lula, bangun Lula. Jangan kayak gini, aku takut.”

Tanganku bergetar memegangi kepalanya yang terus mengeluarkan darah segar. Butir-butir putus asa menggenang di pelupuk mata, membuatku semakin tak karuan ketika ada seorang pria menghampiri aku yang terlanjur menumpahkan segala yang dirasa.

“Mas, tolongin Lula. Saya mohon tolongin Lula.”

Pria itu segera mengambil ponsel di saku celananya, menekan-nekannya sebentar lalu entah apa yang dilakukan setelahnya.

“Mas, bentar lagi ambulans datang. Masnya tolong tenangin diri dulu.”

Aku tak menghiraukan ucapannya, isak tangisku semakin terdengar jelas. Persetan dengan kedatangan manusia-manusia tak berguna yang malah mengeluarkan ponsel untuk merekam.

Ingin kusumpah serapahi mereka semua. Namun urung, karena aku tahu Lula tak suka itu.

“Lula, aku mohon tahan sebentar lagi ya? Kamu bakalan baik-baik aja, aku yakin.”

Bohong, itu semua hanya mantra palsu yang aku pakai untuk menguatkan hati yang telah hancur.

“Lula, aku mohon jangan kayak gini, kamu janji kan mau petik bintang bareng-bareng.”

Percakapan sia-sia, dialog itu hanya sebuah perlawanan batinku terhadap kenyataan yang otakku cerna.

Everyone said, you will slowly forgetting the voice of someone who has gone.

Hanya saja, aku tak ingin kehilangannya.

Pesan suara yang Lula kirim berisi senandung lagu favoritnya itu terus aku putar setiap malam. Walaupun di beberapa kesempatan, suaranya kalah oleh isak tangisku yang memecah keheningan malam.

Tak apa, Lula bilang setiap manusia berhak untuk menangis. Karena sejak pertama kali datang ke dunia, satu-satunya kemampuan yang mereka miliki hanya menangis.

Di awal kepergian Lula, hampir setiap hari aku datang ke rumahnya, meminta maaf hingga berlutut pada kedua orangtua dan adiknya karena tak dapat menjaganya dengan baik. Namun, Ibunya selalu berkata bahwa Lula itu anak baik, bahkan Tuhan pun tidak mengizinkan dunia untuk berbuat lebih jahat padanya.

Dan sampailah aku pada hari ini, dengan sebuah kotak hadiah yang selalu diimpikan oleh Lula untuk memilikinya. Adik Lula — Lutfi yang kini sudah beranjak remaja kembali menghampiriku ke kamar, membawakan segelas air putih yang langsung ia taruh di meja belajar kakaknya.

Andai kamu tahu seberapa miripnya kamu dengan adikmu, Lula.

Aku mengusap buliran bening yang turun begitu saja di pipi. Meminta maaf karena mereka selalu saja lolos mengalir ketika aku berkunjung kesini.

“Gapapa, Kak. Ngga ada yang mudah dari yang namanya kehilangan.”

Kotak hadiah yang sedari tadi kupegang erat kini beralih pada Lutfi. “Ini apa, Kak?” Tanyanya kebingungan.

“Hadiah, untuk Lula. Tapi sekarang, aku kasih kamu aja hitung-hitung hadiah ultah kamu kemarin.” Jawabku.

Ia menatap bungkusan tersebut, kemudian kembali menatapku, “apakah boleh dibuka sekarang?”

“Tentu.”

Lutfi sibuk membuka hadiahnya, kedua netranya membelalak ketika melihat isinya. “Teleskop?” Aku mengangguk menanggapi. “Kak, ini hadiah mahal banget. Aku balikin lagi aja, ya? Ngga sanggup aku nerimanya.”

“Simpan aja. Siapa tau kamu jadi tertarik masuk astronomi nanti. Aku tahu kok kamu sama Lula sama-sama suka langit.” Aku menepuk pundaknya pelan.

Lutfi tersenyum malu. “Terima kasih banyak, Kak.”

Hari semakin gelap, aku bergegas pamit untuk pulang ke rumah. Namun, satu permintaan Lutfi mengurungkan niatku untuk beranjak dari rumahnya.

“Kak Jiwa, malam ini mau sama-sama lihat kak Lula ngga?”

Maka, sejak hari itulah aku sangat menyukai langit malam. Karena di atas sana, aku tahu bukan hanya bintang yang bersinar. Tapi Lula ada bersama mereka dengn cahayanya yang paling benderang.

Lula, mimpimu sudah tercapai. Selamat menari-nari bersama gemintang di langit sana.

--

--

asrar 🍂

kamu menemukanku, dalam setiap kata yang aku sembunyikan maknanya.