Hanya Ingin Mewujudkan Keinginan

asrar 🍂
4 min readJan 18, 2024

--

Sabtu pagi ini, Dipta sudah dikejutkan dengan kedatangan Jaki yang kemarin telah membuat janji untuk bertemu dengan sepupunya di kafe dekat kampus. Dipta yang masih mengumpulkan nyawa itu buru-buru bersiap karena perkataan Jaki saat baru tiba di rumahnya.

“Dip, sepupu gue bilang kita harus on-time datengnya. Kalo ngga ntar dia berubah pikiran.”

Siapa yang tak kaget mendengar pernyataan seperti itu. Masalah uang adalah hal paling serius yang tidak boleh disia-siakan jika ada kesempatan. Dan sepupu Jaki adalah satu-satunya harapan, setidaknya untuk sekarang.

Maka, ketika Dipta meyakinkan diri untuk merealisasikan rencana ‘iseng’-nya, ia semakin bersemangat kala ada yang mendukungnya.

Tadinya, pertemuan akan diadakan di rumahnya saja. Tapi, banyak dari teman-temannya yang sibuk di weekend kali ini. Entah sedang apa, padahal biasanya hanya Wira dan Zidan yang mendapat job di hari libur. Satu menjadi wedding photographer, dan satunya lagi manggung di acara-acara. Sepertinya hanya Jaki saja yang free hari ini.

Sebetulnya, masalah utama mengapa pertemuan tidak diadakan di rumahnya adalah hari ini markas — rumahnya tersebut akan dikuasai oleh adiknya. Karena ketika Dipta dan Jaki hendak pergi, suara ketukan pintu disusul bising bercandaan yang tak jelas terdengar.

“Eh ada abang Dipta, selamat pagi bang, salam sejahtera untuk kita semua.”

Dipta menahan tawanya, sedangkan Jaki sudah menutup mulut, tertawa tak bersuara. Seingat Dipta, orang yang menyapanya ini bernama Saga. Waktu pertama kali bertemu — dengan keadaan persis seperti ini, kalimat yang dilontarkan persis seperti tadi.

“Dirganya ada di rumah, kak?”

Terlontar sebuah pertanyaan dari salah satu gadis disana, rambutnya dijepit menggunakan clip berwarna keemasan. Ah, Dipta lupa namanya siapa, namun ia tahu dalam satu geng Dirga hanya ada dua gadis disana, dan satunya lagi terlihat melambaikan tangan ke arahnya.

“Lah, cepet amat datengnya. Sini buruan masuk.”

Dipta salah mengira. Ternyata gadis tersebut menyapa adiknya yang barusan hadir di belakangnya.

Dirga menyisir rambutnya menggunakan jari tangannya. Ia lalu memandangi kakaknya dan satu temannya yang sedari tadi hanya diam bak patung disana.

“Mau kemana, bang? Tumben keluar pagi pas libur,” tanya Dirga penasaran.

Dipta menepuk bahu adiknya pelan lalu tersenyum, “gue ada perlu dulu, kalo ada apa-apa telpon aja. Baik-baik di rumah.”

Dipta berjalan keluar rumah terlebih dahulu diikuti Jaki di belakang. Keempat sahabat Dirga perlahan masuk ke dalam rumah. Samar-samar, Dipta masih bisa mendengar ocehan-ocehan mereka.

“Lo ngapain basa-basi nanya Dirga ada di rumah atau ngga sih? Kan kita udah janjian tadi, Kay.”

“Ya gue ngga tau harus nanya apa.”

“Gapapa, daripada si Saga tadi, dia yang ngomong, gue yang malu.”

“Sama.”

“Kenapa sih? Ada apa?”

“Ngga, ngga kenapa-napa.”

“Gue mau ikutan malu juga.”

“Buset! Satu sirkel abnormal semua, pantes kita sefrekuensi.”

Dari kejauhan, Dipta dan Jaki terkekeh pelan mendengarnya.

Sepuluh menit kemudian, kedua laki-laki tersebut sampai di tujuan. Kafe bernuansa klasik itu masih tampak sepi, maklum masih pagi. Namun ketika Jaki dan Dipta masuk, sudah ada dua pria di sudut ruangan.

“Gawat, Dip.” lirih Jaki.

Dipta mengernyit.

“Gawat kenapa?”

Jaki menunjuk salah satu pria yang ada disana, “itu sepupu gue.”

Layaknya sebuah sinyal, pria yang dimaksud Jaki melambai-lambaikan tangannya ke arah mereka berdua sembari tersenyum. Satu lagi pria yang ada disana ikut menoleh, hanya saja ia memasang wajah datar, mungkin belum paham akan situasinya.

“Udah lama nunggu, kak?” Jaki menyalami satu-persatu orang yang ada disana, pun Dipta yang memasang senyuman kikuk di wajahnya.

“Lima belas menit, lumayanlah,” yang ditanya menjawab.

“Waduh, maaf telat ya, kak. Tadi nungguin ini nih, Dipta namanya. Mandinya lama.” Tutur Jaki menguar bohong.

Sialan, gue dijadiin umpan, batin Dipta dalam hati.

“Ngga masalah, soal kata-kata yang tadi pagi gue omongin juga bercanda doang. Gue serius kok mau bantu. Oh iya, ini temen gue yang kemarin dimaksud, namanya Jordi. Kalau gue, Jagat. Salam kenal ya Dipta.”

“Panggil aja Jo,” sahut Jordi yang akhirnya tersenyum lebar.

“Kalau nama gue Jaki, kak Jo. Ini temen gue Dipta, yang punya ide mau bangun bisnis bareng,” papar Jaki.

Setelah perkenalan singkat tersebut, pembahasan berat pada pagi hari dimulai. Ide, konsep, pembagian founding team, sponsor, dan tentunya dana — hal yang paling penting bagi Dipta.

Agaknya Dipta bersyukur diperkenalkan dengan sepupu Jaki ini, karena setelah pertemuan berakhir ia jadi tahu bahwa kak Jagat dan temannya — kak Jo merupakan fresh graduate yang merintis usaha BBQ kaki lima sejak mereka masih berkuliah.

“Gue sama Jo juga awalnya cuma iseng, gabut pas masa-masa nyusun skripsi. Nekat pake modal seadanya, eh ternyata masih eksis sampe sekarang.”

Kata Jagat saat berbincang tadi.

Ia juga menambahkan keinginannya untuk mencoba bisnis di bidang lain. Mungkin dengan ikut andil dalam proyek Dipta dan kawan-kawannya, ia bisa belajar.

Namun, ada satu hal yang menjadi beban pikiran bagi Dipta sekarang.

“Tapi Dip, bisnis itu ngga segampang yang kita lihat. Mungkin kalo udah ngejalanin, lo bakalan lebih banyak ngerasa susahnya dibanding seneng. Makanya gue mau ngewanti-wanti aja, kalo bisa sih lo coba cari lagi buat investor, jangan ngandelin gue sama Jagat aja.”

Apa yang dikatakan Jordi benar, dan Dipta harus memutar otaknya lagi untuk hal tersebut. Atau setidaknya, ia dapat meminta bantuan teman-temannya saat ini.

--

--

asrar 🍂

kamu menemukanku, dalam setiap kata yang aku sembunyikan maknanya.