Bertemu dan Bertamu

asrar 🍂
5 min readApr 16, 2024

--

cr. pinterest

Hari ini stasiun kota ramai, pun dengan isi kepala manusia yang berlalu lalang di dalamnya. Langit juga tak kalah ramai, ia kedatangan awan hitam bersamaan dengan rintik-rintik hujan yang tak lama setelahnya berubah menjadi deras lalu melahap habis sang mentari hingga tak tersisa di atas sana.

Seluruh tubuhku juga habis dilahapnya, namun lantai stasiun ini menerima dengan lapang setiap tetesan yang jatuh dari sekujur tubuhku. Kulirik sekilas arloji yang melingkar di pergelangan tangan, makhluk bernama waktu yang tinggal di dalamnya mengejar dengan lekas. Tanpa pikir panjang, aku seret kedua kaki lelahku untuk pergi ke peron yang dituju.

“Mohon maaf, Kak. Kereta yang dimaksud sudah berangkat sekitar sepuluh menit yang lalu. Silakan menunggu jadwal kereta selanjutnya.”

Ucapan seorang petugas tersebut sukses melengkapi penderitaanku siang itu.

Terduduklah aku di bangku tunggu stasiun, dengan ransel yang masih setia dalam gendongan serta tatapan miris dari beberapa manusia yang sialnya mengetahui keadaan malangku saat ini.

Mengapa manusia senang sekali mencuri dengar pembicaraan orang lain? Padahal sebenarnya mereka sama sekali tak peduli dengan apa yang terjadi.

Kurapatkan jaket kulit pemberian Ayah yang hasilnya tetap sama tatkala aku tak memakainya. Kedinginan.

Sengatan hangat barulah muncul saat mengingat percakapan kedua orangtuaku melalui seluler kemarin malam.

Besok kalau kamu pulang, Ayah mau masak opor kesukaanmu katanya.”

“Loh, ramadhan saja belum tiba, ngapain Ayah masak opor, Bu? Nanti kamu dengan Ibu saja buat kue bolu, Ayah bagian icip-icip.”

Aku tersenyum tipis mengingat mereka berdua yang memperdebatkan makanan. Entah apa yang akhirnya mereka masak hari ini.

Lamunanku buyar bersamaan dengan dingin yang kembali menusuk tulang ketika kulihat seorang laki-laki dengan keadaan yang sama persis denganku menghampiri petugas tadi.

Tak lama setelah berbincang, ia ikut duduk di sampingku. Telapak tangannya mengusap peluh yang sudah membaur bersama tetesan air hujan dari surai hitam yang turun perlahan menuju keningnya. Lalu, jari-jemarinya kini menyisir rambut ke belakang dan akhirnya kedua tangannya masuk ke dalam saku jaket yang aku yakini tetap saja membuatnya kedinginan. Netranya menatap kosong rel kereta di depan.

Rasanya, aku melihat sebuah persamaan di dalam dirinya.

Sebuah kecewa dengan tambahan noda keputusasaan.

Aku pun ikut tenggelam bersama pikiran yang mengawang. Akan tetapi, sedetik kemudian mulutnya bersuara.

“Ketinggalan Pasundan?”

Aku menoleh sambil menunjuk diri sendiri, ia mengangguk menjawab pertanyaan dari telunjukku.

Aku tersenyum miris, “prakiraan cuaca salah menebak kapan langit menangis, alhasil aku harus menanggung sedihnya di sepanjang jalan menuju stasiun.”

“Pandai sekali kamu mendongeng.” Ia tertawa kecil, tangannya berpindah dari saku jaket menuju ranselnya, sibuk meraih sesuatu di dalam.

Sebuah dompet kumal dikeluarkan pemiliknya dan berpindah ke saku jaket.

“Sudah makan?” Tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk kecil.

Ia kemudian pamit pergi mencari sesuatu yang dapat mengganjal lapar dan menitipkan barang bawaannya padaku untuk kembali lagi selepas membeli santapan.

Lima belas menit kemudian ia kembali, dengan dua plastik di tangan kanan yang salah satunya ia sodorkan kepadaku.

“Saya tahu kamu belum makan, perutmu sedari tadi sudah jujur mengatakannya.”

Dasar, tidak bisa diajak kompromi.

“Ah, maaf sekali sudah merepotkan.” Cicitku menahan malu.

Ia kembali duduk di tempat semula, “tak apa, manusia memang senang sekali berpura-pura, mereka bahkan dapat hidup menjadi orang yang berbeda setiap harinya.”

Ucapannya barusan terlalu menohok. Beruntung aku belum memakan barang satu suap nasi pecel yang diberikannya, jika sudah bisa-bisa aku mati tersedak nanti.

Akhirnya, kami berbincang panjang di tengah waktu yang singkat. Hujan masih menebar sedihnya, namun kami dengan tak sopannya malah banyak tertawa mendengarkan kisah satu sama lain perihal ‘Tertinggal Pasundan’ ini.

“Sebetulnya, sudah dua hari yang lalu Mamah saya menyuruh pulang, tapi saya enggan. Saya malas pulang ke rumah.” Ungkapnya.

“Aku kira Mas-nya memang tinggal disini dan mau pulang kampung.” Sahutku merapatkan kembali jaket yang sudah setengah kering.

Ia menggeleng pelan, “hanya senang berkelana sendirian.”

Aku mengangguk-angguk menanggapi.

“Kalau kamu mau pergi kemana?” Lagi-lagi ia bertanya.

“Pulang,” aku menjeda ucapanku, “disuruh Ibu karena katanya mau ngasih kejutan di rumah.”

“Saya tebak, kejutan ulang tahun bukan?”

“Kok tahu?! Mas-nya cenayang, ya?”

“Soalnya kalau kejutan disuruh kenalan sama anak orang sih itu nasib saya.”

Aku yang hendak tersenyum mendadak terdiam.

Ah, sepertinya semakin dewasa, masalah-masalah akan semakin rumit. Mereka datang bukan lagi sebagai ombak, tapi kemungkinan menjadi tsunami.

“Ngomong-ngomong, nama saya Genta. Tapi maaf jangan panggil saya Mas, soalnya bukan orang Jawa,” ia terkekeh kecil, “sebetulnya juga saya masih suka sendiri karena buat saya itu cukup menenangkan, tapi Mamah saya lihatnya kayak orang kesepian.”

Ia meneguk air mineral yang sisa setengah di botolnya.

“Jadi, saya harap kamu bisa menjalani hidup semerdekanya keinginan kamu sendiri.”

“Mohon perhatiannya, beberapa menit lagi Argo Pasundan akan berangkat dari Stasiun Lempuyangan menuju Stasiun Bandung. Kami dengan hormat meminta agar semua penumpang segera naik ke kereta dan mengambil tempat duduknya. Terima kasih.”

Belum sempat aku membalas perkataannya, sebuah kereta sudah tiba di depan peron. Aku bangkit dari duduk, mengambil selembar uang kertas di saku dan hendak memberikannya pada teman berbincangku tadi. Namun, ia menolak.

“Tak apa, sebagai gantinya semoga kita bisa bertemu lagi. Terima kasih, perbincangan tadi sangat menyenangkan.”

Tubuh jangkungnya pun ikut bangkit dari duduknya. Hendak berjalan menuju gerbong belakang dimana tempat duduknya berada. Sedangkan aku bergeming di sana karena gerbongku berada tepat di depan tempatku berdiri.

Sebelum benar-benar berpisah, ia sempat mengatakan satu hal yang membuatku kalang kabut melihat layar kunci dari ponselku.

“Aku juga suka Sal, tapi aku tidak setuju dengan jawaban Kala yang mengatakan senja merah karena terluka. Menurutku, ia berubah memerah karena terus-terusan melahap mentari setiap datang ke bumi, tapi mungkin hari ini ia tak akan datang, keduluan hujan.”

Lalu, ia tersenyum sambil melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

“Sampai jumpa lagi, Dya. Dan selamat ulang tahun, semoga serta mulia selalu.”

Ia berbalik sepenuhnya. Samar-samar, aku mendengar senandungnya yang kian menjauh.

Miliar-miliar, juta-juta, ratus-ratus sekian. Kemungkinan orang di dunia, kamu dapatnya aku.

“Sayangnya Ibu, sudah siap-siap?”

Aku menoleh ke arah pintu kamar, disana ada Ibu yang juga telah berpakaian rapi. Perlahan, Ibu menghampiri dan mengecup keningku cukup lama.

“Memangnya siapa yang akan datang, Bu? Biasanya kalau ada tamu pun aku ngga pernah keluar kamar.” Aku menggerutu pelan.

“Hari ini, tamunya mau ketemu kamu, makanya kamu harus ikut duduk di sebelah Ibu.” Cinta pertamanya Ayah ini tersenyum.

Tak lama, terdengarlah suara Ayah yang menyambut kedatangan orang-orang di luar rumah. Pikiranku sudah mengawang kemana-mana, sudah kupastikan akan ada sesuatu aneh terjadi hari ini.

Ketika Ayah sudah memanggil Ibu, perlahan digenggamnya erat lengan kiriku oleh Ibu untuk ikut keluar kamar bersama.

Aku menunduk, malas untuk sekedar melihat siapa-siapa saja manusia yang mengganggu hari pentingku ini. Duduklah aku di tengah-tengah Ibu dan Ayah.

“Nah, nak Dya langsung saja ya. Kenalkan ini anaknya Tante yang punya itikad baik buat ta’aruf sama nak Dya.”

Telak! Hal yang sedari awal aku takuti terjadi. Namun, aku masih setia menundukkan kepalaku yang sepertinya bisa lepas dari badan kalau terus aku lanjutkan hingga pertemuan ini selesai.

“Anak Ayah yang paling cantik, jangan nunduk terus dong, nanti Ayah harus panggil tukang urut karena leher kamu pegal-pegal.”

Guyonan Ayah membuat seisi ruangan menggelegar karena tawa. Akan tetapi, ada satu suara yang baru aku kenal dalam waktu dekat ini.

Maka, dengan satu tarikan nafas panjang, aku angkat kepalaku perlahan. Kedua netra ini langsung tertuju pada salah seorang manusia yang kemarin mengucapkan selamat ulang tahun sebelum waktunya.

Aku terkejut, ia pun sama terkejutnya denganku. Namun, tak lama kemudian ia langsung menyunggingkan senyumnya.

“Halo, Dya. Perkenalkan, saya Genta.”

Bukan, bukan ini yang aku harapkan dari kejutan ulang tahun.

“Selamat bertemu kembali.”

Samar-samar, suara senandungnya di hari kemarin terputar begitu saja di kepala. Jantungku berdegup kencang, ingin rasanya aku tenggelam saat itu juga.

Tuhan, bercandamu kali ini sama sekali tidak lucu.

--

--

asrar 🍂

kamu menemukanku, dalam setiap kata yang aku sembunyikan maknanya.