Awal Mula Rencana

asrar 🍂
4 min readJan 18, 2024

--

Night at cafe

Kafe baru itu malam ini cukup ramai. Banyak orang berdatangan, baik yang sengaja melihat-lihat ataupun yang bertahan dari ramai hingga sepi menuju tutup seperti Dipta dan kawan-kawannya yang kini masih berbincang seru di satu meja.

“Gila sih lu keren banget tadi, Dan.” Jaki bersuara, ia merapatkan jaketnya karena angin malam semakin dingin.

“Lu sama Dipta baru dateng pas tengah-tengah sih, padahal intro Zidan sambil gitaran itu lebih gila tadi!” Seru Arga tak kalah semangat.

“Tau tuh, padahal kalian berdua kan posisinya lebih deket, tapi malah dateng akhiran.” Gama menyoraki.

Dipta menyeruput kopinya yang tinggal setengah gelas, “Si Jaki tuh lama bener nabung di kamar mandi, mau gue tinggalin tapi kagak tega juga, mana rumah lagi rame sama temen-temennya adek gua.”

“Oh, gengnya si Dirga ya?” tanya Arga.

Dipta mengangguk.

“Rumah Dipta tuh emang markas mereka ngga sih? Soalnya strategis, deket kemana-mana.” Ucap Gama sambil menyilangkan kakinya.

“Lah emang kita ngga? Padahal lebih parah lagi, dijadiin pelarian hampir setiap malem.” Bagas menambahkan.

“Asal lo tau ya Gas, dulu pas sirkel kita anggotanya baru Zidan, Wira, Dipta sama gua, itu rumah boro-boro dijadiin pelarian, masuk aja ogah-ogahan.” Jaki meringis.

Bagas mengerutkan keningnya, meminta penjelasan lebih lanjut.

“Geng Dirga kan awal mula terbentuk karena mereka satu kelompok ospek, kalo bikin tugas segala macem pasti di rumah Dirga karena alasan strategis tadi. Kebayang kan lo betapa rame dan pecahnya itu rumah. Mana ortunya Dipta kerjaannya travelling, punya kuasa lah akhirnya mereka.” Wira akhirnya bersuara, meski begitu matanya tetap fokus melihat-lihat hasil potretannya tadi sambil sesekali memperlihatkan kepada Zidan di sebelahnya.

“Gue ngga sanggup denger ceritanya Dipta kalo dia numpang tidur setiap weekend di kost gua waktu itu.” Jaki bergidik ngeri.

“Untung sekarang prajurit kita agak lebih banyak lah ya, jadi kan enak mau nyenggol itu bocah-bocah,” kata Zidan.

“Woi, bocah itu adek gua juga!” balas Dipta dengan nada bercanda.

Semuanya terbahak.

Malam semakin larut. Namun, tak ada satupun dari mereka yang hendak beranjak. Pun pemilik kafe, membiarkan para mahasiswa yang sedang mengobati stresnya itu untuk tetap nyaman mengobrol satu sama lain disana.

“Gue denger-denger tadi yang punya kafe ini tuh mahasiswa tau, masih sekampus sama kita.” Zidan membuka kembali topik obrolan.

Arga menoleh ke sumber suara, “Seriously?”

“Tapi bukan milik pribadi, jadi kayak proyek barengan sama temen-temennya, biasalah anak ekonomi bisnis.” Zidan melanjutkan.

“Seru kali ya bikin bisnis bareng-bareng. Ngga susah sendirian haha.” Bagas tertawa.

“Kita juga bikin yuk? Mau ga?”

Semuanya melirik ke arah Dipta yang tadi mengemukakan pertanyaan, membuat lelaki yang matanya hampir sayu itu kembali segar.

“Gue serius, mau ga?”

Dipta, lagi.

Gama yang ada di sebelahnya langsung menjitak pelan kepala Dipta, “lo ngomong segampang nawarin jajan seblak tau ga.”

“Tapi seru sih, kayaknya.” Bagas tertarik.

“Tuh, iseng-iseng gini biasanya berhadiah. Iya ga, Jak?” Dipta menyenggol lengan Jaki di sebelahnya.

Jaki hanya mengangguk-angguk. Entahlah, dia pun mungkin hanya sekedar merespon sahabatnya.

“Halah, paling wacana doang. Ujung-ujungnya tinggal kenangan,” tukas Wira tak percaya.

Dipta menghela nafas, “ayolah, kita kan para pemuda harapan bangsa, harus semangat, apalagi buat cuan. Biar ngga ditraktir Zidan terus, ntar bagian lo yang traktir Zidan, Wir.”

Wira diam. Tapi otaknya berpikir keras. Sepertinya teman-temannya yang lain juga sama. Hanya Dipta yang tidak, sebab ajakannya saja terlontar begitu saja dari mulut.

“Tapi kita juga butuh dana lah, Dip. Duit kita doang mana cukup,” ungkap Arga.

“Betul! Dan bisnis kafe tuh udah ada dimana-mana, mainstream,” balas Gama.

Bagas tampak berpikir, “gimana kalau kita bikin yang beda.”

“Beda gimana?” Zidan kebingungan.

“Kalian tau ga sih? Zaman sekarang yang namanya rumah hantu itu bukan cuma jalan terus pinggir-pinggirnya ada yang ganggu. Sekarang tuh pengunjung kayak dikasih misi. Itu kan inovasi baru, antimainstream.” Jelas Bagas.

Dipta menyilangkan kedua tangannya membentuk X.

“BIG NO. Gue gamau ya kalo serem kek gitu.”

“Seru tau, Dip.” Zidan menggoda.

“Gue bilang ngga berarti ngga ya, awas lo pada.”

“Iya-iya jangan rumah hantu. Mungkin kayak adventure gitu juga bisa. Kayak wide game ataupun cari treasure bakal lebih seru,” cetus Bagas tampak meyakinkan.

“Lah iya ya, gue ngga kepikiran sampe situ!” Seru Gama.

“Kalo ditambah basah-basahan lebih seru deh.”

“Nah iya tuh! Kan seger ya abis lari-lari terus nyebur ke sungai.”

“Hahaha, ntar lo juga ikut nyebur aja.”

“Gue ngga tau kalau ngomongin bisnis bisa semenarik ini.”

Memang benar, semakin malam akan semakin deep pula sebuah obrolan, meskipun bahasannya adalah hal-hal yang dirasa tidak masuk akal.

Obrolan yang berawal dari keisengan Dipta itu terus berlanjut.

Ya, terus berlanjut hingga sang pemilik kafe akhirnya menyerah, mengusir halus mereka bertujuh yang kini sudah tiba di tempat tinggal masing-masing.

--

--

asrar 🍂

kamu menemukanku, dalam setiap kata yang aku sembunyikan maknanya.